Jawa Barat memiliki banyak warisan budaya dan tradisi yang masih dijalankan hingga kini. Salah satunya adalah Sisingaan, sebuah kesenian dari tanah Sunda yang punya nilai historis tinggi.
Baca juga : Kenali 7 Motif Batik Jawa Barat Beserta Makna Filosofinya
Apa Itu Sisingaan?
Sumber: subang.go.id
Sisingaan adalah kesenian tradisional dari Jawa Barat, tepatnya Kabupaten Subang. Kesenian yang satu ini menampilkan patung singan yang ditandu oleh emapt orang penari. Dari keempat penari tersebut, salah satunya berperan sebagai anak raja.
Sisingaan lebih dari sekedar kesenian karena memiliki nilai historis yang sangat tinggi sebagai simbol perlawanan dan nilai-nilai budaya. Kesenian ini merupakan perpaduan dari budaya Sunda dan Jawa Timur, yang terlihat dari penggunaan kostum dan alat musik pengiring pertunjukan ini.
Sejarah Tradisi Sisingaan di Jawa Barat
Sisingaan memiliki akar sejarah yang menarik, terutama dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Munculnya tradisi ini dapat ditelusuri hingga abad ke-19, ketika wilayah perkebunan Subang bergantian dikuasai oleh Inggris dan Belanda pada tahun 1812. Pada masa itu, patung singa dalam Sisingaan belum seperti yang dikenal sekarang, terbuat dari konstruksi kayu ringan dan anyaman bambu yang sederhana.
Tradisi ini menjadi bentuk perlawanan masyarakat Subang terhadap tekanan politik dan ekonomi yang mereka alami saat itu. Lambang singa yang diarak dan dijadikan permainan rakyat menjadi simbol sindiran terhadap bangsa Eropa, terutama Inggris dan Belanda, yang pada waktu itu menguasai wilayah Subang. Dalam lakonnya, masyarakat dengan ekspresi kebencian melambangkan penolakan terhadap penjajahan dengan menunggangi dan “mengambil rambut” dari kepala singa, sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan.
Kesenian Sisingaan awalnya hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu, seperti acara khitanan, pernikahan, atau acara-acara kenegaraan. Namun, seiring berjalannya waktu, kesenian Sisingaan mulai dikenal oleh masyarakat luas. Kesenian ini mulai ditampilkan di berbagai acara, baik acara tradisional maupun acara modern.
Filosofi Tradisi Sisingaan
Tradisi Sisingaan bukan hanya sebagai bentuk perlawanan, tetapi juga mengandung filosofi mendalam. Simbolisme dalam Sisingaan tercermin dalam penjambakan rambut dari kepala singa yang dijunjung oleh anak-anak. Simbol ini mencerminkan semangat perlawanan generasi muda terhadap penjajahan yang menindas generasi sebelumnya. Meskipun orang tua dianggap sebagai budak penjajah, anak cucu diharapkan dapat berada di atas para penjajah.
Selain itu, tradisi Sisingaan juga diidentifikasi sebagai “odong-odong” oleh sebagian masyarakat. Odong-odong ini digunakan sebagai sarana ritual pertanian, menggambarkan keterkaitan tradisi ini dengan aktivitas pertanian dan pengagungan terhadap padi dan leluhur. Odong-odong mengarak benda yang diserupakan dengan bentuk binatang tertentu, mencerminkan tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat sebelum masuknya agama besar dalam kehidupan mereka.
Prosesi Pementasan
Prosesi pementasan Sisingaan melibatkan serangkaian kegiatan yang membuat tradisi ini semakin menarik. Pementasan dimulai dengan kata sambutan dari ketua kelompok, diikuti dengan anak-anak yang akan disunat atau tokoh masyarakat yang akan diarak naik wayang singa. Instrumen pengiring memainkan lagu berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.
Delapan pemain kemudian berbagi dua boneka singa, dan ketua kelompok memberi aba-aba kepada pemain untuk melakukan gerakan tari serempak dan akrobatik. Lagu pengiring biasanya diambil dari kesenian Sunda. Pertunjukan dilakukan sambil berkeliling kampung hingga akhirnya kembali ke tempat semula, menandai berakhirnya pementasan Sisingaan.
Sisingaan merupakan salah satu kekayaan budaya nusantara yang masih terus dipertahankan hingga saat ini. Hadirnya kesenian yang satu ini sekaligus sebagai pengingat akan perjuangan para pahlawan bangsa dalam melawan para penjajah.