Seni Benjang dari Sunda: Sejarah & Asalnya

Bangsa Indonesia punya kekayaan budaya yang tidak pernah ada habisnya, tidak terkecuali dari kawasan Sunda. Benjang termasuk kesenian tradisional yang merupakan perpaduan antara seni dan bela diri. Apa yang menarik dari kesenian yang konon sudah ada sejak abda ke-19 itu? Simak ulasan lengkapnya dalam artikel berikut ini!

 

Baca juga : Seni Ronggeng Gunung, Tarian Sakral Khas Jawa Barat

 

Asal Benjang dan sejarahnya

Sumber: Ayo Bandung

Benjang merupakan nama yang unik, yaitu merupakan kependekan dari Sasamben Budak Bujang yang memiliki arti “arena para jejaka”. Seiring berjalannya waktu, seni Benjang berkembang menjadi bentuk seni pertunjukan gulat tradisional yang dikenal sebagai Benjang Gelut. Tidak sampai di sana, Benjang kemudian berkembang lagi mengikuti perkembangan zaman menjadi kesenian arak-arakan yang disebut dengan nama “Benjang Helaran” yang tujuannya adalah mengarak anak yang dikhitan.

Kesenian yang satu ini banyak berkembang di kawasan Bandung Timur, seperti di Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Cilengkrang, dan Kecamatan Cileunyi. Karena hal inilah banyak bermunculan kelompok-kelompok Benjang yang masih bertahan dan mampu mempertahankan eksistensinya hingga saat ini.

Pada zaman dahulu, kesenian Benjang digunakan oleh para orang tua sebagai wujud rasa syukur panen raya. Sehingga tidak salah untuk menyebut bahwa Benjang merupakan kesenian rakyat.

Jenis-jenis Benjang

Terdapat dua jenis kesenian Benjang yang berkembang, yaitu Benjang gulat dan Benjang helaran. Benjang gulat adalah bentuk olahraga tradisional, sementara Benjang helaran adalah bentuk arak-arakan yang sering melibatkan bangbarongan, kuda lumping, atau jampana.

Perbedaan antara Benjang gulat dan Benjang helaran juga terlihat dalam cara penyajiannya. Benjang gulat memiliki kesamaan dengan olahraga Sumo asal Jepang, tetapi yang membedakannya adalah ibingan atau tarian yang dilakukan sebelum pertandingan. Sementara ketika ngibing, terdapat tiga tahap yang harus dilakukan: yaitu golempang, puyuh ngungkuk, beureum panon, dan julang ngapak. Setelah ibingan selesai, para pebenjang membuka pakaian mereka, hanya mengenakan celana pendek, sebagai simbol bahwa mereka tidak membawa senjata atau barang berbahaya selama pertandingan.

Kesenian Benjang juga dimeriahkan oleh iringan musik tradisional, tidak hanya selama ibingan, tetapi juga selama pertandingan. Alat musik yang digunakan termasuk terbang, kendang, kecrek, dan terompet.

Sementara Benjang helaran memiliki ciri khasnya sendiri, menampilkan arak-arakan dengan bangbarongan, kuda lumping, dan jampana. Kesenian ini sering kali dipadukan dengan kesenian kuda renggong untuk menambah meriahnya arak-arakan. Alat musik yang digunakan dalam Benjang helaran hampir sama dengan Benjang gulat, hanya ditambah dengan bedug dan gong. Selama pertunjukan Benjang helaran, terdapat sinden yang bernyanyi untuk mengiringi pertunjukan.

Hal yang menarik dalam Benjang helaran adalah ketika beberapa anggota rombongan Benjang mengalami kesurupan, yang menambah kesan dramatis dan keunikan dalam pertunjukan kesenian ini. Semua unsur ini membuat Benjang helaran semakin memikat untuk ditonton.

Benjang, masih eksis hingga kini

Sumber: Detik

Hingga saat ini, kesenian Benjang masih banyak dilestarikan melalui kelompok-kelompok kesenian yang berkembang di kawasan Bandung Timur. Kelompok-kelompok ini sudah muncul sejak tahun 1990-an dan sudah diwariskan secara turun temurun.

Kesenian ini masih terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Misalnya seperti Benjang helaran yang menawarkan sebuah inovasi baru. Yaitu arak-arakan yang awalnya hanya menunjukan bangbarongan, jampana, atau kuda lumping. Kini menampilkan pertunjukan baru yang menggabungkan Benjang helaran dengan kuda renggong atau lengser. Jampana juga bisa disulap menjadi berbagai bentuk. Bentuk yang paling populer dan paling sering dipertunjukkan adalah burung rajawali. Inovasi inilah yang membuat Benjang masih eksis sampai hari ini.